Rasa yang Tak Terucap

Jena untuk Rey

Dia memegang tanganku. Ya, kami berlari menaungi hujan. Tanpa peduli hujan yang membasahi tubuh kami, tanpa peduli becek-becekan, kami tetap berlari. Mengejar waktu yang singkat. Mengejar kepastian. Tangan kananku digenggamnya, tangan kiriku ke atas memegang tas kecil menghindari hujan turun ke kepalaku.

Ku pandangi Rey. Rey hanya memalingkan wajahnya. Kami bukanlah pasangan seperti di dalam film-film. Kami adalah teman, ya hanya teman. Akupun tak tertarik untuk memilik hubungan seperti itu.


Akhirnya sampai di gedung yang kami tuju. Kupandangi kakiku. Sepatuku basah, begitupula kaos kakiku. Dia memandangi langit, lalu tertawa. Langitpun mencerah.

"Harusnya tadi kita nunggu reda aja.", kata Rey tersenyum kecut. 

Aku hanya tertawa. Rey memandangiku dan kami tertawa bersama. Ku pandangi dirinya. Rey memakai kemeja kotak-kota yang sudah basah kuyup. Begitupula jeans yang dipakainya, sepatunya, semuanya. Lalu kami bergegas.

2 jam yang lalu....

Rey untuk Jena

Mungkin aku bukanlah orang yang tepat untuknya. Atau aku bukan yang dia inginkan. Hubungan kami terasa aneh. Teman bukan, pacaran bukan, sahabatan juga bukan. Tanpa status yang jelas. Namun, aku merasa nyaman di dekatnya. Aku harap diapun begitu. 

"Rey, jadi kan nanti kita presentasi?", tanya suara yang ku kenal, Jena.

"Iyalah, harus itu, udah janji. Kamu mau kita gagal lagi?", kataku jawab asal.

Jena hanya mengernyitkan dahi, lalu menampar kepalaku. Dan dia berlalu. Kupandangi dirinya dari jauh. Dia memakai rok dimana angin menerbangkannya. Dan seperti biasa, dia memakai tas selempang kecil, gaya casualnya.

Dia berbalik, lalu menghampiriku lagi.

"Aku mau makan dulu, laper. Entar kalau berangkat duluan, ya duluan aja, entar aku nyusul.", katanya cepat.

Aku menggelengkan kepala. Mana bisa presentasi nyusul, anak ini menggampangkan segalanya. 

"Enggak, aku nggak akan ngelepas kamu. Entar kamu kabur. Kita makan bareng.", kataku lalu menarik tangannya.

Entah mengapa dia tidak memberontak. Hanya tetap memegang tanganku.

Sampai di tempat makan...

"Aaaahhh, antrinya lama!", katanya sebal.

Aku hanya memalingkan pandanganku. Aku terganggu dengan keluhannya. Yah, aku mencoba tidak mendengarnya.

"Iiiihhh, Rey! Kamu ngapain sih pilih tempat di sini, kan lama.", katanya sambil menggerak-gerakkan tanganku mencoba mencuri perhatian.

"Kan ini tempatnya murah, deket gedung perusahaannya lagi. Ya wajarlah, jam makan siang.", kataku.

Setelah sekitar hampir satu jam, makanan diantar. Jena memakan dengan lahapnya. Aku senang mellihatnya tersenyum. Gadis ini, kadang menyebalkan, namun juga ngangenin. Sehari tanpa mendengar suaranya, seperti hidup tidak lengkap. Oke, katakanlah aku gombal, tapi itulah kenyataannya.

Tiba-tiba kami mendengar suara gerimis. Jena memberhentikan acara makannya sebentar.

"Rey, hujaaan!", katanya.

"Alah cuma gerimis doang. Paling juga reda.", kataku santai.

Cewek memang ribet, tak terkecuali Jena. 

Sudah setengah jam semenjak hujan turun, dan sekarang dipenghujung jam 2 siang. Namun, hujan makin deras. Kami di depan rumah makan, bersiap untuk pergi menunggu hujan reda. Ketika itu berjalan dari tempat makan ini ke gedung perusahaan advertising itu hanya dibutuhkan waktu kurang dari lima menit. Memang presentasi akan dimulai jam setengah tiga siang, namun kami harus datang setengah jam lebih awal. Janjiannya memang seperti itu. 

Jam 2 kurang sepuluh. Aku menatap Jena, Jena bingung, lalu perlahan mengerti.

"Are you sure?", tanyanya.

Aku mengangguk penuh keyakinan, lalu menarik dan menggenggam tangannya. Tak pernah aku merasakan yakin seyakin ini. Iya, kami menerjang hujan. Kami nekat. Kubiarkan hujan membasahi kami. Akupun juga lupa membawa payung. Namun, kami tebas saja hujan itu. 

Sesampainya di sana, hujan malah mereda. Lucu, aku merasa dipermainkan oleh semesta. Baiklah, tak apa. Akan tetapi, ini membuatku yakin akan Jena. Aku hanya tertawa memandangi cakrawala yang semakin cerah.

Jena dan Rey

Ternyata presentasi mereka dibatalkan. Rasa kesal pasti ada di benak mereka. Kalaupun jadi presentasi, penampilan mereka juga tidak memungkinkan. Basah, kucel, pokoknya enggak banget. Namun, apa boleh buat, mereka yang butuh perusahaan itu untuk menjadi sponsor project mereka. Mereka berjalan entah ke arah mana. Sampai di saat mereka menemukan sebuah cafe yang mungkin bisa jadi moodbooster mereka.

"Namanya lucu, genduk, yang artinya panggilan anak perempuan dalam bahasa jawa. I love classic things.", kata Jena memandangi kafe itu lalu masuk.

Rey mengikuti gadis itu masuk. Mereka memilik tempat duduk. Lalu memesan minuman dan menunggu. Selama menunggu mereka hanya terdiam. Mereka terfokus pada dekorasi ruangan yang klasik, kental akan jawa, namun elegan. Kafe itu didesain seperti rumah seorang bangsawan jawa pada masa Belanda, namun dikemas secara menarik. Ada foto keluarga, foto anak kecil. Ini seperti mesin waktu kemabali ke zaman Belanda.

Pelayan lalu menyediakan minuman kepada mereka. Lamunan mereka tersadarkan oleh itu. Jena terbatuk, lalu meminum jahe susunya.

"Kamu sakit?", tanya Rey sambil menyentuh dahi Jena dengan tangannya. 

Rey khawatir terjadi sesuatu kepada Jena.

"Enggak kok, nggakpapa.", jawab Jena sekedarnya.

"Habis ini ke dokter yuk. Pastiin kalau kamu nggakpapa. Dahi kamu agak panas.", kata Rey.

"Iiih, nggak usah. Lagian kamu siapa aku? You're nothing. Okay?", kata Jena sebal.

Mereka terdiam. Rey speechless. Jena juga bingung akan semua ini. Lalu Jena berusaha mencerna semuanya. Terdiam beberapa saat.

"Don't you think that we are....", kata Jena tak bisa melanjutkan kalimatnya.

Rey masih diam. Lalu memandangi Jena. Jena juga memandangi Rey. Mereka saling berpandangan. Jena mengerdipkan matanya, lalu menggelengkan kepalanya, lalu memandangi asal.

"We're just friends, right?", tanyanya.

Rey tersenyum sesaat lalu berbicara.

"In your opinion?", tanyanya, menatap Jena lurus.

Jena membenar-benarkan posisi duduknya, salting. Dia tidak merasa nyaman akan semua ini. Dibayangkannya semua moment saat-saat bersama Rey. Jena bahagia. Bagaimana mereka tertawa bersama. Namun, sekarang beda. Aneh. Jena memang merasa nyaman, namun dia takut untuk memulai sebuah hubungan. Takut akan menganggu semuanya.

"Okay, kalau kamu ngerasa kita bukan teman, lalu apa?", tanya Jena gugup.

Rey hanya terdiam, merasa tidak percaya dengan semua ini. Rey hanya butuh untuk meyakinkan Jena. Rey tahu mereka saling merasa nyaman bersama, namun ini rumit. 

Mereka terdiam lagi. Jena meyakinkan dirinya untuk menyatakan apa yang dipikirannya. Jena harus mengartikan semuanya. Harus memecahkan pertanyaan yang belum terjawab selama ini. Hubungan mereka ini apa? Jena menghela napasnya, lalu mencoba berbicara.

"Then, should we try it?", tanyanya tanpa berani menatap Rey.

"What do you mean?", tanya Rey.

"In your opinion?", Jena balik bertanya.

Lalu tersenyum sebentar dan memandangi Rey. Gadis ini memang tidak bisa ditebak.

"If you wanna try it, just try it, it will work or not. Just try it.", katanya sambil menaikkan alisnya lalu tertawa.

Rey memandangi Jena lalu tersenyum. Yah, mereka tertawa bersama lagi. Rasanya dinding yang baru saja terbentuk itu runtuh seketika. Mereka saling berpandangan, menikmati senja yang tersenyum untuk mereka.