Realita

Aku tidak tahu sejak kapan ini semua bermula. Aku tak tahu kapan ini akan berakhir. Ya, aku di tengah-tengah semua mimpi-mimpi ini. Melihat dunia dari berbagai perspektif, namun diantara semua itu aku memilih melihat dunia sebagai keindahan. Bunga-bunga bermekaran, burung-burung berkicauan. Semuanya indah.

Aku melihat ke atas. Sebuah pohon besar dengan ranting-rantingnya yang gagah dan hijaunya daun-daun. Ku rasakan angin sepoi menerpa kulitku. Ku tutup mataku dan merasakan semua keindahan ini dari hati.

Ku main-mainkan rerumputan dengan tanganku, sesekali kumain-mainkan gaunku. Iya, aku masih menunggunya. Menunggu janji-janji yang pernah dia ucapkan. Kami berjanji bertemu di tempat ini. Di bawah pohon besar. 

Aku mengingatnya, bagaimana awal mula kami bertemu. Bagaimana dia tersenyum. Bagaimana suaranya yang memanggil namaku. Bagaimana kami melewati waktu kami. Aku hanya bisa tertawa mengingatnya. Aku ingin tertawa bersamanya mengingat-ingat lagi kisah kami. Lucu, aneh, dan entahlah. 

Ku buka mataku. Terlihat kelinci-kelinci bermain di rerumputan di tengah teriknya matahari. Mereka bahagia. Aku menghampiri kelinci-kelinci itu dan bermaksud ikut bermain. Aku agak menaikkan gaunku lalu berlari ke arah kelinci-kelinci itu.  Berkejar-kejaran dengan kelinci.

Setelah puas, aku tiduran di atas rumput, memandangi langit. Ku pejamkan mataku lagi, berharap bertemu dengannya dalam mimpi. Ya, aku masih menantinya, walaupun itu hanya di dalam mimpi. Aku akan sangat senang jika ia datang. Ku bayangkan wajahnya, senyumnya, kulit cokelatnya.

Ku rasakan bayangan yang menutupi sinar matahari di atasku. Perlahan kubuka mataku. Aku penasaran dengan ada apa sekarang. Ku lihat wajahnya, iya, dia yang aku tunggu. Dia tersenyum padaku. Membawa keranjang. Ia meletakkan keranjangnya lalu meraih tanganku. Lalu menarik diriku untuk berdiri. Dia memakai baju cokelat yang senada dengan kulitnya. Memakai sepatu hitam. Ku pandangi dirinya sekali lagi sambil tersenyum. 

Apakah ini mimpi? Apakah ini hanyalah sesuatu yang sangat ingin aku lihat? Ku pandangi dirinya sekali lagi. Air mataku rasanya mau tumpah, tapi ia tetap tersenyum. Air mataku menetes, apa ini? Apa yang aku lihat adalah realita? Atau hanyalah mimpi?

Air mataku turun semakin deras. Membuat diriku tak mampu melihat dia dengan jelas. Aku menangis. Keras. Ku pejamkan mataku sekali lagi. Lalu kubuka setelah beberapa detik. Hilang. Iya, dia menghilang. Aku menoleh ke tempat ia menaruh keranjang. Tak ada keranjang. Ku pandangi semua tempat yang dapat dijangkau dengan mataku. Perlahan-lahan pohon itu kering, mati. Matahari perlahan-lahan menghilang. Kelinci-kelinci juga menghilang. Rerumputan mengering.

Ku pandangi gaun yang kupakai tadi. Berubah menjadi terusan biasa. Semua hanyalah mimpi. Iya, mimpi. Dia tidak mungkin kembali. Dia telah pergi. Aku masih menangis, lalu tersenyum kecut. Iya, tidak selamanya kita hidup dalam mimpi. Tidak selamanya apapun terjadi seperti yang diinginkan. Realita itu kejam.

Dan aku di sini. Di lorong sebuah gang. Memandangi langit senja. 

Namun, walaupun itu hanyalah mimpi aku tetap bahagia. Setidaknya di dalam mimpi itu memberi kesempatan aku untuk bahagia.

Mimpi adalah semangat. Mimpi adalah sebuah awalan. Jangan lupa untuk membuat mimpi menjadi relita dengan usaha di dunia yang nyata. Namun, jangan terlalu terlalu terbuai dalam mimpi, kita akan lupa akan realita yanga ada. Aku ingin bermimpi lagi. Aku ingin lagi, dan lagi.