Story Of Us Part 2

Jogja, Agustus 2005

Aku punya teman sebangku yang baru. Ketika masa-masa SMP dihabiskan sebangku dengan Anggi, kali ini, aku masuk SMA, aku sebangku dengan Sean. Kami tak pernah berkenalan secara langsung. Aku mengenalnya sebatas teman sekelas SMP selama kelas 9. Itupun aku jarang mengobrol dengannya. Aku bukan tipe anak yang sering bicara. Dulu di kelaspun aku lihat Sean hanya berinteraksi dengan teman yang cowok. Karena dia orang satu-satunya yang aku kenal di kelas ini, aku memintanya duduk sebangku denganku. 


"Undah ngerjain PR fisika belum?", tanya Sean yang baru datang.

Aku menatapnya sambil menganggukkan kepala.

"Boleh pinjam?", katanya.

Reflek aku mencari buku fisikaku dan langsung memberikan padanya. Entah mengapa aku melakukannya. Lalu Sean langsung duduk dan menyalin jawaban PRku. Aku menatapnya. Ada ya, orang yang nggak niat sekolah, PR aja nyontek. Tapi aku cuma diam.

Walaupun kami duduk sebelahan, namun tak banyak topik yang kami bicarakan. Paling cuma sekitar PR, atau hal-hal tentang sekolah. Sean bahkan suka ngedumel sendiri kalau ada guru yang menyebalkan. Aku hanya sebatas menanggapi, "iya.". Rasanya aku kangen duduk sebangku dengan Anggi. Kangen celotehnya, kangen suara ketawanya yang khas. Tapi, Anggi sudah berbeda sekolah dengan aku. Dia sekolah di SMA 6, sedangkan aku di SMA 8. Aku merasa tidak nyaman duduk dengan Sean, tapi mau pindah juga mau duduk sama siapa. Lagian di kelasku ini jumlah siswanya genap. Ah, mungkin selama aku mencari teman sebangku yang baru, aku harus tahan dengan Sean.

Jogja, September 2005

Aku cemberut, lalu menaruh asal hapeku ke meja. Kesaaal. Dion nggak mau nonton film. Padahal aku pengen banget nonton Dealova. Hissh!

"Kenapa?", tanya Sean.

"Bete, pacar aku nggak mau nemenin aku nonton.", kataku sebal.

"Emang nonton apa?", tanyanya.

"Dealova.", jawabku singkat.

"Yaelah, pantesan dia nggak mau.", kata Sean

Rasanya pengen aku telen aja tu anak. Makin keseel. Terus aku ambil buku Sejarah yang ada di tas, lalu aku banting ke meja.

"Ya santai loh.", katanya.

"Cowok emang semua sama aja. Ngeselin!", kataku.

"Emang mau nonton kapan? Kalau cowok kamu nggak mau, aku mau nemenin kok.", kata Sean.

Aku keget sambil menatap Sean. Aku mengedip-ngedipkan mataku. Sean mengangguk dan tersenyum. Lalu aku tersenyum senang dan mengangguk.

Besoknya.....

Sekarang hari minggu, jam 10 pagi. Kata Sean mau jemput aku di rumah. Aku sudah memberi arahan jalan ke rumahku, semoga dia tidak bingung. Aku menunggu di depan rumah. Tapi, Sean tak kunjung datang. Sean tidak punya handphone, jadi aku bingung mau gimana. Tapi aku tunggu saja, toh dia bilang dia bakalan datang. Semakin lama aku semakin bosan.

"Cher, temanmu belum datang?", tanya Mama.

"Belum, Ma. Katanya jam 10, tapi nggak dateng-dateng nih.", kataku sambil cemberut.

"Sekarang udah hampir jam dua belas nih. Temanmu jadi datang nggak? Mending bantuin Mama di belakang.", kata Mama lembut.

Aku cuma mengangguk dan bergegas ke belakang. Dasar Sean, kalau emang mau bohong ya jangan gini juga kali. Salah aku milih temen. Lalu, sontak ada bunyi klakson motor. Aku refleks menoleh. Sean! Iya, makhluk itu akhirnya nongol juga. Sean datang dengan kaos hitam polos serta jaket. Dia tersenyum padaku dan aku luluh pada senyumnya.

Di bioskop.....

"Tuh kan, kamu lama banget sih, jadinya kita dapat yang jam 2 kan?", kataku sebal sambil menatap tiket.

"Ya, maap, tadi bangun jam 11, kesiangan. Ini aja belum mandi.", kantanya santai.

Aku cuma menatapnya sinis. Makhluk macam apa coba bangun jam 11 dan ngajak cewek pergi, dan belum mandi. Tapi, yaudahlah.

"Terus mau kemana? Masih lama loh.", kataku.

Dan akhirnya aku dan Sean jalan ke benteng Vredeberg, tak jauh dari bioskop. Kami berbicara banyak. Tak pernah aku rasakan kami sedekat ini sebelumnya. Sean cerita dia punya 2 adik cewek yang kembar. Sekarang kelas 3 SD. Aku juga cerita tentang mimpiku untuk bisa hidup di Eropa, karena aku sangat tergila-gila dengan Harry Potter. Bagaimana soal aku dan Dion, cowok yang udah aku pacari dari kelas 2 SMP. Gimana ceritanya Sean pindah ke Jogja. Sambil menikmati atmosfer kolonial di benteng ini dan saat itu pula kami saling membuka diri. Ternyata Sean bukanlah anak pendiam yang seperti yang aku kira. Dia juga banyak omong.

"Cher, udah hampir jam 2 nih, balik yuk.", kata Sean.

Aku mengangguk dan kami kembali ke bioskop Mataram.

Bersambung