Tak terasa ini sudah mau semesteran kenaikan kelas. Aku masih bingung mau memilih jurusan IPA/IPS. Di satu sisi aku sangat menyukai menulis ---entah itu menulis cerpen atau puisi---, tapi di sisi lain orang tuaku menginginkan aku masuk jurusan IPA. Ya, seperti kebanyakan orang tua lainnya menganggap bahwa jurusan IPA lebih baik daripada jurusan IPS. Namun, bagiku sendiri setiap jurusan memiliki keunggulannya masing-masing. Kalau Sean sendiri memilih untuk mengambil jurusan IPS karena Sean memang membenci pelajaran fisika. Yah, aku hanya memandangi kertas pemilihan jurusan dengan bimbang. Lalu, tiba-tiba Sean menepuk pundakku. Dia mengintip ketas yang masih aku pegang, lalu aku mengintip punyanya. Iya, Sean menuliskan IPS. Aku memandanginya.
"Kamu kenapa kok pilih IPS?", tanyaku, iya, aku bertanya walaupun sudah tahu jawabannya.
"Aku rasa aku lebih bahagia di IPS. Setiap pelajaran non-IPA aku merasa lebih senang. Buat apa aku pilih jurusan yang enggak buat aku nyaman di dalamnya. Lagian aku juga lebih kuat di hafalan.", katanya santai.
Aku rasa entah pelajaran khas IPA maupun IPS aku merasa biasa saja, sama-sama bikin frustasi, namun ketika aku berhadapan dengan mata pelajaran bahasa, aku merasa lebih enjoy. Tapi, di sekolahku tidak membuka jurusan bahasa, haruskah aku tulis? Kertas pemilihan jurusan itu paling lambat dikumpulkan besok, namun aku masih belum bisa memilih.
"Besok pulang sekolah jalan yuk ke mall yang baru dibuka itu. Ambarrukmo Plaza apa ya namanya.", kata Sean.
"Oke.", kataku sambil mengangguk.
Aku berkonsultasi dengan mbak Ola. Bagaimana seharusnya. Kata mbak Ola pilih IPA saja, toh kuliah juga masih bisa pilih IPS, yang penting belajar saja. Tapi, aku masih belum yakin. Yah, aku masih ingin berfikir lagi, karena ini bukanlah hal yang main-main. Dua tahun berbeda jurusan pola pikir juga berbeda.
Besoknya....
Aku sudah memantapkan hati ke jurusan IPS. Aku sama sekali tidak berminat dengan IPA. Aku akan berusaha memberi pengertian pada orang tuaku bahwa masuk IPS bukan berarti bodoh, masuk IPS karena memang interestnya ke situ. Aku bersiap akan mandi. Tapi tiba-tiba ada suara gemuruh, bumi yang aku pijaki juga bergoyang. Di luar kamarku, banyak yang teriak gempa. Sontak aku keluar kamar lalu berlari keluar. Apa ini? Gempa? Tetangga-tetanggaku juga banyak yang keluar, bahkan ada yang anggota tubuhnya berdarah. Iya, gempa 5,9 skala richter yang mengguncang Jogja dan sekitarnya. Pengalaman ini tidak mungkin aku lupakan. Ini merupakan gempa terbesar selama aku hidup di Jogja.
Tiba-tiba aku teringat janji dengan Sean. Iya, Sean dan aku memiliki janji untuk pergi. Namun, ini kan situasi genting, lalu wajah Sean menghiasi pikiranku. Bagaimana dia? Apakah dia selamat? Jantungku berdegup kencang memikirkannya. Aku takut akan kehilangan teman sebangku sekaligus sahabatku itu. Aku ingin menghubunginya, tapi dia belum memiliki handphone. Aku lemas. Aku hanya berharap Sean tetap berada di bawah lindungan-Nya. Aku berharap Sean tidak apa-apa.
2 minggu kemudian...
Hari ini adalah ujian semesteran. Info ini disebarkan melalui mulut ke mulut dan juga melalui sms. Aku berangkat sekolah diantar Ayah. Ketika aku sampai di sekolah, aku bertemu dengan Pak Andri dan langsung memberikan kertas pilihan jurusan. Aku juga sudah berbicara dengan kedua orang tuaku, awalnya mereka membujukku agar memilih IPA, namun aku memberikan alasan ingin kuliah ekonomi. Iya, aku butuh alasan kuat untuk itu, aku bilang saja bahwa untuk bisa masuk ekonomi aku harus mendalami ekonomi yang hanya didapatkan di IPS. Lama-kelamaan mereka mengerti.
Sesampainya di sekolah, aku bertemu teman-temanku dan kakak-kakak kelas. Nadia, Helmi, Ria, dan lain sebagainya. Aku mencari sosok Sean, tapi tidak juga kuketemukan. Padahal, sekolahku sudah masuk semenjak 3 hari yang lalu, tapi Sean sampai sekarang belum muncul. Memang pertemuan-pertemuan kemarin sebatas pengarahan dan sifatnya tidak wajib. Aku tetap berangkat dan berharap bertemu Sean, tapi sampai detik ini belum kulihatnya. Kurasakan kecemasan dalam hatiku, 'dia baik-baik saja kan?'. Aku masih tersu berdoa Sean baik-baik saja. Aku nggak sanggup kehilangannya.
Lalu ada yang menepuk pundakku dari belakang. Aku menoleh. Sean! Ya, itu dia. Aku langsung memeluknya. Aku bersyukur pada Tuhan dalam dekapannya. Lalu aku melepaskan pelukanku.
"Seaaaaan. Kamu gimana?", tanyaku.
"Kamu lihat kan? Aku kayak gimana? Aku baik-baik aja.", katanya sambil tersenyum lalu mengacak-acak rambutku.
Aku membenarkan kembali rambutku. Sebelumnya aku memikirkan hal yang tidak-tidak, tapi sekarang dia ada di depanku. Sean tersenyum padaku. Kudengar sayup-sayup teman-temanku meledek aku dan Sean. Iya, memang kami dikenal memiliki hubungan spesial. Padahal bukan begitu. Akupun tidak peduli denga itu.
"Kamu sih, nggak punya hape. Aku kan nggak bisa hubungin kamu.", kataku sebal.
"Ah, bawel ah. Iya, sih emang susah kalau nggak punya hape, hehe. Ini aja kalau aku nggak ketemu Nadia, aku nggak tahu kalau udah ujian aja.", katanya.
Yang pasti aku bersyukur. Lalu kami mengerjakan ujian di tenda. Setelah itu, aku dan Sean dan teman-teman lainnya bertukar pengalaman dengan kejadian gempa ini. Bagaimana Ria yang baru mandi harus segera keluar karena gempa, hanya berbusana handuk. Gimana Didin yang hampir kejatuhan genteng, dan lain sebagainya. Dari kejadian ini, intinya adalah terguran dari Sang Kuasa kepada kita untuk selalu mengingat-Nya. Aku bersyukur, keluargaku masih lengkap. Beberapa temanku kehilangan anggota keluarganya dan bahkan ada temanku yang sampai meninggal. Memang benar, kita akan sulit untuk bersyukur ketika kita hanya melihat ke atas, lihatlah ke bawah. Dengan melihat ke bawah, kita merasa lebih beruntung dan bersyukur atas nikmat yang Dia berikan kepada kita. Yang pasti bencana gempa ini memberiku banyak pelajaran.
"Habis ujian kita ke Ambarrukmo Plaza yuk, kata tanteku tempatnya cozy loh.", kata Ria kepada kami.
Aku berpandangan dengan Sean. Iya, ada janji kami yang belum terlaksana. Lalu kami tersenyum.
"Ayok ayok aja sih kalau aku.", kataku.
Jogja, Juli 2014
"Waktu itu aku takut banget loh, Yan. Bener-bener kejadian yang nggak bisa aku lupain.", kataku pada Sean.
"Iya, itu pertama kalinya aku kena bencana besar kayak gitu.", kata Sean lalu menunduk.
Aku terdiam. Aku juga memandang ke bawah. Kupandangi sepatu converse warna hitamku. Serta kupandangi pula renda-renda di ujung dressku. Siapa sih yang menyangka akan ada gempa pada waktu itu? Jogja yang kufikir aman-aman saja dan tentram saja bisa.
"Btw, tapi lagu-lagu zaman dulu lebih asyik ya daripada sekarang. Lagu-lagu Indonesia zaman sekarang banyak yang enggak banget.", Sean berusaha mengalihkan pembicaraan.
Iya, rasa-rasanya, sekarang aku sudah jarang mendengarkan musik Indonesia. Mengingatnya, membuka kembali memoriku tahun 2006. Gimana dulu banyak juga teman-teman yang nge-cie-cie-in aku dengan Sean dan bilang aku dan Sean teman tapi mesra. Iya, lagu Ratu yang itu memang ngehits sekali. Gimana aku jatuh cinta pada lagu Dealova yang dibawakan oleh Once, iya aku suka film dan soundtracknya juga. Lagunya Samsons yang kenangan terindah yang sering ngingetin aku sama Dion, tapi sekarang kalau dengar udah biasa aja sih, hehe. Lagunya Ungu yang demi waktu, dan masih banyak lagi.
Lagu Indonesia sekarang apa sih yang aku tahu? Paling yang aku ikuti lagu-lagunya Tulus, Raisa, GAC. Nggak banyak yang aku dengar.
Kita adalah sepasang sepatu, selalu bersama, tak bisa bersatu
Tiba-tiba terdengar bunyi dering handphone. Itu bukan ringtone hapeku. Lalu aku melihat Sean sibuk menggerogoh sakunya untuk mengambil handphonenya. Sepertinya itu hapenya.
Kita, mati bagai tak berjiwa, bergerak karena kaki manusia
Aku sang sepatu kanan, aku sang sepatu kiri
Ternyata Sean juga suka Tulus. Ringtone hapenya aja lagunya Tulus. Lalu Sean memandangi hapenya. Ekspresinya sedikit kaget. Sean mengusap hapenya lalu mengangkatnya.
"Halo.", ucap Sean pada sang penelepon.
Bersambung