"Gimana, Jerman?", tanyaku pada Sean.
"Just so-so. Tapi, so far aku enjoy sih di sana, hehe..", katanya sambil tersenyum.
Sean memang mengambil jurusan Hubungan Internasional saat kuliah, sekarang dia kerja sebagai
konsuler di Műnchen. Ah, padahal dulu aku yang bermimpi tinggal di sana, malah dia yang kesampaian.
Tiba - tiba ada seorang cewek yang teriak-teriak di cafe marah-marah sama seorang cowok.
"Kamu nggak pernah ngerti perasaan aku. Mending kita udahan!", katanya.
Cewek belasan tahun itu lalu menggeser kursinya dengan kasar lalu pergi. Cowok itu juga bergegas pergi sambil mengejar ceweknya. Dari gestur mereka, sepertinya mereka sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Dasar anak muda, gampang banget bilang putus. Nggak ngerti aja gimana sakitnya habis putus itu kayak gimana.
Jogja, Februari 2006
Sebentar lagi ulang tahun Dion. Aku bingung mau ngasih apa untuk dia. Tahun pertama jadian aku memberinya sebuah kalkulator, karena Dion sering bermasalah dengan matematika. Tahun kedua, aku membuatkannya kue. Tapi, tahun ini aku harus ngasih apa? Tapi, apa Dion nggak sibuk? Sebentar lagi dia akan mengadapi Ujian Nasional. Memikirkannya saja membuatku galau. Aku mengacak-acak rambutku sambil menggerutu.
"Apaan sih?", ucap Sean.
Aku menatapnya dengan tatapan jengkel.
"Dion mau ultah, aku bingung.", kataku pelan.
"Ya udah, tinggal bilah 'happy birthday ya' aja beres kan?", katanya santai.
Rasanya pengen aku tendang aja ini bocah. Nggak seenak itu dodol!
"Ah, susah aha ngomong sama tembok.", kataku sewot.
Lalu Sean merangkul leherku dengan sangat kuat. Yah, inilah kelakuan makhluk satu ini kalau dia nggak diterima diledek. Aku jadi ingat gimana awal-awal duduk sebangku dengan Sean. Canggung, aneh, nggak jelas. Semenjak nonton bareng dulu itu, kami jadi makin akrab dan aku merasa semakin nyaman dengan Sean. Sepertinya Sean juga seperti itu. Sebenernya aku udah nemu temen yang nyaman untuk diajak duduk sebangku sih, namanya Nadia. Tapi, Nadia ini orangnya lurus banget, nggak kayak Sean yang kadang ngajakin di kantin aja daripada kelas. Nadia seperti tipikal anak-anak pinter lainnya, rajin, pinter, dan nggak tertarik dengan dunia huru-hara remaja seusianya. Tapi, aku juga sudah terlanjut lebih nyaman dengan Sean.
"Cher, kamu bisa bantu aku nggak?", sapa Nadia waktu Sean asyik merangkul kuat leherku.
"Kenapa, Nad? Kalau aku bisa, aku bantu.", kataku sambil melepaskan cengkeramannya Sean, lalu berdiri lalu menghampiri Nadia.
Jadi, ternyata Nadia memintaku untuk bergabung dalam tim debat bahasa indonesia untuk lomba minggu depan. Nadia tiba-tiba memintaku karena, Lila, medadak mengundurkan diri karena sakit Tifus. Aku bingung, di sisi lain ulang tahun Dion juga tinggal 4 hari lagi, tapi harus disibukkan dengan latihan lomba. Tapi, Nadia sangat memohon, dan lama-kelamaan aku menjadi tidak tega. Lalu aku mengiyakan. Toh, Dion juga sudah kelas 3 SMA, pasti tidak sempat memikirkan hal yang seperti itu.
Hari-haripun berlalu. Hari ulang tahunnya Dion. Aku mengirim sms 'happy birthday' padanya. Namun, tak ada balasan. Memang, semenjak semester 2 ini hubunganku dan Dion agak renggang. Karena selain dituntut untuk bisa lulus, Dion juga berjuang untuk mendapatkan bangku untuk kuliah besok. Aku memaklumi saja. Yang biasanya sms-an paling enggak sehari sekali, sekarang hampir nggak pernah, seminggu aja kadang nggak sms-an, apalagi ketemuan. Aku dan Dion beda sekolah. Dion di SMA 6, satu sekolah dengan Anggi.
"Cher, kamu lihat apa sih?", tanya Mbak Ola padaku.
"Haa??", aku sambil melihat tayangan TV yang tidak konsen aku lihat, ternyata itu tayangan siraman rohani kristen.
Aku kaget, kapan aku nyetel ke saluran ini. Aku hanya menghela nafas. Mbak Ola merupakan kakak kandungku yang paling cantik. Iya, karena dia kakakku satu-satunya. Aku menatap Mbak Ola, lalu memalingkan pandanganku ke TV lagi.
"Mbak, aku mau cerita.", kataku tanpa menatapnya dan langsung mematikan TV.
Aku bergegas ke kamarku dan menarik mbak Ola ke kamarku. Aku meceritakan tentang Dion. Iya, ini semua tentang hubungan kami yang sekarang entah mau dibawa kemana. Tanpa terasa air mata mengalir, aku bingung harus gimana. Namun, mbak Ola bilang aku nggak boleh nyalahin Dion. Kata mbak Ola mungkin Dion lagi butuh waktu untuk beneran fokus. Aku menahan tangisku dan terdiam sesaat, lalu aku memeluk mbak Ola. Kakak yang paling aku sayangi.
Tak terasa makin lama waktu semakin berputar dan hingga saatnya perlombaan. Aku, Nadia, dan Helmi berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk sekolah kami. Aku berusaha untuk enggak keganggu dengan hubungan nggak jelasku dengan Dion. Setelah kemarin cerita sama mbak Ola, aku merasa semakin lega dan berusaha nggak memikirkannya. Sayangnya aku hanya tembus semi finalis, nyesek sih, itu kayak cuma tinggal berapa langkah untuk menang, tapi yaudahlah buat pengalaman aja.
Besoknya.....
Aku seperti biasa aku pulang bersama Sean, karena rumah kami searah. Lalu alu lihat ada Dion di dekat gerbang sekolah, tapi aku kurang yakin. Aku mengecek hapeku. Iya, Dion meng-smsku agara bertemu di depan sekolahku. Sean sudah siap dengan motornya, lalu aku bilang padanya untuk menunggu sebentar. Aku mengampiri Dion yang masih menunggu.
"Hai.", kataku riang seperti biasa.
"Hai, Cher, kayaknya kita eumm.... kita udahan aja ya.", katanya tak berani melihat mataku.
Aku terdiam. Apa yang aku takutin benar terjadi. Tanpa sadar air mata ini menetes. Sakit. Aku nggak tahu kenapa rasanya sesakit ini.
"Maksud kamu?", kataku tanpa melihatnya. Rasanya pandanganku kabur oleh air yang memenuhi mataku.
"Ya, iya, kita putus aja. Aku rasa aku nyuekin kamu selama ini dan aku rasa kalau aku sama kamu nggak akan bisa fokus. Maaf, dan terima kasih untuk semuanya.", Dion mengusap air mataku lalu menepuk pundakku dan langsung pergi.
Aku terdiam. Air mataku nggak bisa dibendung lagi. Aku melihat Dion berjalan dari belakang. Dan aku kayak linglung seketika.
"Yuk, Cher.", kata Sean sambil menarik tanganku, aku tanpa perlawanan mengikutinya.
Aku menaiki motor Sean memboncengnya. Aku masih menangis. Aku nggak bisa ngerti kenapa harus. Ini lebih sakit daripada hampir menang lomba. Aku menangis di punggung Sean dan aku sudah tak peduli lagi. Aku juga nggak tahu sekarang dimana, yang bis aku lakuin hanyalah nangis. Tiba-tiba Sean memberhentian motor. Tapi, ini bukan di rumahku. Ini di pantai Parangtritis. Aku masih terisak dan menatap Sean dengan tatapan bingung. Namun Sean hanya tersenyum dan lalu menarikku ke pantai. Aku masih terisak dan tanpa perlawanan mengiyakannya. Aku menunduk. Yang aku lihat hanyalah pasir dan sepatu Nike Sean. Iya, aku tahu karena ada tanda centang di seatunya Sean.
"Kamu boleh cerita apapun dan kamu boleh teriak sesuka kamu.", kata Sean.
Aku menatapnya. Aku masih nangis dan Sean menghapus air mataku. Lalu tersenyum dan mengangguk. Aku teriak sekencang-kencangnya. Aku menangis sekeras-kerasnya. Bodo amat dilihat sama orang, karena aku juga nggak pernah peduli hal itu. Perasaan aku lama-lama lega. Terus aku tersenyun ke Sean dan Sean tersenyum padaku dan kita tertawa bersama.
Jogja, Juli 2014
"Woy, kenapa? Dari tadi melamun mulu deh. Males ah meet up kalau cuma dikacangin.", kata Sean sambil menggerak-gerakkan tangannya di depan mataku.
Aku cuma tersenyum heran.
"Ya, cari inspirasilah. Kalau dateng masa' ditolak sih.", kataku santai.
Sean cuma menggeleng tanda heran. Lalu kami berdua tertawa bersamaan.
"Kamu masih belum berubah.", katanya sambil menghampiriku dan merangkul leherku.
Bersambung
Bersambung